Hari ini, aku tiba-tiba dipanggil oleh Ustadz Zilan. Jantungku berdebar kencang. Seingatku, aku tidak pernah melanggar peraturan di Dayah. Kenapa aku dipanggil?
“Besok pagi ikut aku ke suatu tempat. Bersiaplah,” katanya singkat.
“Ke mana, Ustadz?”
“Nanti kau akan tahu.”
Aku mengangguk ragu. Entah mengapa, firasatku tidak enak.
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Rendi, sahabatku, memperhatikanku yang gelisah. “Kenapa?” tanyanya.
Aku menatapnya. “Kau tahu sesuatu tentang Ustadz Zilan?”
Rendi terdiam sejenak sebelum menjawab, “Dulu, ada beberapa santri yang pernah diajak beliau keluar. Mereka kembali… tapi tidak pernah mau bicara soal perjalanan itu.”
Aku menelan ludah. Apa yang sebenarnya terjadi?
*
Pagi harinya, aku dan Ustadz Zilan berangkat menggunakan mobil. Perjalanan terasa panjang dan sunyi. Setelah beberapa jam, kami tiba di sebuah desa kecil yang terpencil. Di sana, ada sebuah bangunan sederhana dengan beberapa orang tua dan anak-anak duduk di serambi.
“Masuklah,” kata Ustadz Zilan.
Aku melangkah masuk dan menyadari bahwa ini adalah sebuah panti asuhan. Anak-anak menyambut dengan senyuman, dan para pengasuh tampak kelelahan tetapi penuh keikhlasan.
“Aku selalu membawa santri ke sini untuk belajar berbagi dan memahami bahwa ilmu bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk mereka yang membutuhkan,” ujar Ustadz Zilan.
Aku merasa malu karena telah berpikir buruk tentang beliau. Hari itu, aku dan para santri lain menghabiskan waktu bersama anak-anak, mengajarkan mereka membaca, menulis, dan mengaji. Kami juga membantu para pengasuh membersihkan ruangan dan menyiapkan makanan untuk anak-anak.
Setelah seharian di sana, aku merasa kehangatan yang berbeda. Ada sesuatu yang menyentuh hatiku. Anak-anak di panti ini begitu bahagia dengan hal-hal sederhana yang kami lakukan. Aku melihat senyum tulus mereka, dan rasanya kebahagiaan mereka menular padaku.
Sore harinya, saat duduk di bawah pohon, aku memberanikan diri bertanya, “Ustadz, kenapa tidak menjelaskan tujuan perjalanan ini dari awal?”
Ustadz Zilan tersenyum. “Kadang, manusia hanya bisa memahami sesuatu setelah mereka melihat dan merasakannya sendiri. Jika aku menjelaskan sejak awal, kau mungkin tidak akan merasakan maknanya sedalam ini.”
Aku terdiam, merenungi kata-katanya. Ternyata, tidak semua hal harus dijelaskan di awal. Ada kalanya, pengalaman itu sendiri yang memberikan jawaban.
Malamnya, sebelum tidur, Ustadz Zilan berkata, “Kadang, misteri bukan tentang sesuatu yang menyeramkan, tapi tentang hikmah yang belum kau pahami.”
Aku tersenyum. Kini, aku mengerti. Misteri yang sebenarnya bukanlah tentang ketakutan, tetapi tentang perjalanan menuju pemahaman.
TAMAT.


