By: Sahlul Umuri
“Tulisan ini adalah saksi bisu perjalanan kami menuju sebuah tempat yang indah. Tanah impian. Aku menyebutnya ‘Negeri Nun Jauh.’ Kami telah sampai di perbatasan negeri itu. Hanya menunggu kepala ini berlubang oleh peluru atau terbuai oleh ledakan.”
Khabib terus mencuri pandang ke arah buku yang ditulis Khatib. Sementara itu, Khatib tampak larut dalam lamunannya, seolah tak menyadari tatapan sahabatnya.
“Apa maksud ‘Negeri Nun Jauh’ itu, kawan?” tanya Khabib, memecah keheningan.
Khatib mengangkat kepalanya dan tersenyum. “Surga.”
Di luar, suasana masih mencekam. Tentara Zionis berkeliaran, meronda. Meski penjagaan begitu ketat, mereka tak menyadari bahwa di bawah sebuah rumah bertingkat yang separuhnya telah hancur, Khabib dan Khatib bersembunyi. Mereka tengah membahas satu-dua hal sebelum penyerbuan gudang logistik tengah malam nanti.
“Kau ingin ke sana?” tanya Khabib lagi.
Khatib mengangguk pelan, lalu menutup bukunya, menyimpan pena, dan mulai menyapu debu ke wajahnya dengan kedua telapak tangan—tayammum. Melihat sahabatnya bersuci, Khabib mengikuti gerakannya. Ia menempelkan kedua telapak tangan ke tanah, kemudian mengusap tangannya pada wajah, diikuti dengan usapan di kedua lengan setelah menempelkan telapak tangannya sekali lagi ke tanah.
Khatib bangkit, menakar arah kiblat. “Bagaimana denganmu?” tanyanya.
Khabib yang tengah merenggangkan persendiannya menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”
“Kau juga ingin ke negeri itu?”
Khatib kini berdiri, siap menunaikan salat Maghrib sebagai imam. Sejenak, Khabib terdiam, merenungkan jawabannya. “Mungkin tidak. Aku lebih memilih tinggal di sini, membela tanah airku, ketimbang bahagia di negeri itu.”
***
Suara rentetan peluru akhirnya mereda. Khatib keluar dari persembunyiannya dengan buku dan pena di tangan. Ia mencatat semua yang dilihatnya dengan detail. “Nyalakan kameramu, Samad!” perintah Khatib pada rekannya.
Samad sigap menuruti instruksi. Ia mulai merekam keadaan sekitar—gedung-gedung runtuh, abu yang mengepul, tubuh-tubuh tak bernyawa. Semua terdokumentasi dalam kamera portabelnya. Sesekali, ia menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
Tanpa mereka sadari, tiang yang menyangga salah satu bangunan bertingkat terlihat miring, mengarah ke mereka.
“Khatib, awas!” teriak Samad seraya berlari menjauh, mengira Khatib mengikutinya. Namun, pemuda itu justru terpaku, pandangannya terkunci pada seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun yang berlari ketakutan.
Tanpa aba-aba, sebuah peluru menembus kepala bocah itu. Ia terjatuh, nyawanya terenggut begitu saja.
Saat Khatib tersadar, tiang beton besar sudah siap menimpanya. Matanya terpejam, bersiap menyambut maut.
Lima detik berlalu. Tidak terjadi apa-apa.
Khatib membuka mata. Di hadapannya, seorang pria menahan tiang beton dengan punggungnya. Wajahnya merah padam, urat-urat tubuhnya menonjol, bersiap meledak jika terus memaksakan diri. Hidungnya mulai mengalirkan darah segar.
Pria itu menghempaskan tiang tersebut ke samping. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, napasnya tersengal.
“Ba…baik,” jawab Khatib terbata-bata.
Samad segera menghampiri Khatib, yang masih tertegun. Dalam waktu singkat, ia menyaksikan dua hal yang tak akan pernah ia lupakan—kematian seorang anak kecil yang tak berdosa dan seorang pria misterius yang mampu mengangkat tiang beton seolah tak berbobot.
Sementara pria itu menghapus darah dari hidungnya, bara dalam diri Khatib menyala. Api itu membakar semua rasa takut di hatinya.
“Ayo, Khatib. Kita harus pergi. Tempat ini tidak aman. Hanya ini laporan yang bisa kita serahkan ke kantor,” ujar Samad, bersiap beranjak.
Namun, Khatib tak bergeming. “Pulanglah sekarang, Samad. Sampaikan pada teman-teman dan Abahku bahwa anak mereka akan ikut berjihad mempertahankan Jalur Gaza.”
Setelah mengatakan itu, Khatib berbalik menghadap pria yang baru saja menyelamatkannya. Menatapnya dengan penuh harapan.
“Tolong, bawa aku dalam perang ini!”
Pria itu mengamati semangat membara dalam diri Khatib, lalu mengulurkan tangannya. “Siapa namamu, Mujtahid?”
Tanpa ragu, Khatib menjabat tangannya. “Khatib. Seorang wartawan yang akan berperang di sisimu.”
Pria itu mengangguk mantap. “Khabib. Seorang pejuang Palestina yang akan menjadi sekuat Ali bin Abi Thalib.”
Samad tak sanggup membujuk Khatib. Ia hanya bisa pulang sendiri.
***
“Baiklah, kita mulai lima menit lagi,” kata Khabib melalui radio sebelum memutuskan sambungan.
Khatib masih berbenah, menyiapkan karung besar untuk menjarah logistik musuh. Gudang itu tidak besar. Isinya hanya cadangan makanan darurat. Tugas Khatib adalah masuk dan mengambil sebanyak mungkin, sementara Khabib dan rekan-rekannya akan memancing perhatian musuh dari kejauhan.
Malam larut. Saatnya bergerak.
Setelah pelukan perpisahan yang erat, Khabib dan Khatib berpisah menuju arah yang berlawanan. Khatib membawa karung besar, sedangkan Khabib menggenggam senjata serbunya.
Dua menit kemudian, Khatib berdiri mematung di dalam gudang. Tidak ada apa-apa di sana.
Makanan kaleng seperti yang diinformasikan sebelumnya hanyalah kebohongan. Ini jebakan!
Di saat yang sama, Khabib dan kelompoknya juga menyadari sesuatu. Tak ada musuh yang muncul. Merasa ada yang tak beres, Khabib berlari secepat kilat ke arah gudang logistik.
Namun, dia terlambat.
DUARRR!
Ledakan itu menggetarkan tanah. Gudang rata dengan tanah. Khabib membeku, setetes air mata jatuh membasahi pipinya.
Sedetik kemudian, ia berlari sekuat tenaga menuju reruntuhan. Ia membuang senjata serbunya. Dalam benaknya, hanya ada satu nama: Khatib.
Sampai di sana, ia mulai menggali, mengangkat puing-puing berat dengan tangan kosong. Kulitnya terkoyak, darah mengalir, tetapi ia tak peduli.
Sampai akhirnya, dia menemukan sebuah tangan yang terjepit.
Dengan sekuat tenaga, Khabib mengangkat tembok besar itu. Ia memeluk tubuh itu erat, sekelibat mengingat pertemuan pertama mereka beberapa tahun lalu.
Kini, sosok itu tampak jelas. Ya, itu Khatib. Tanpa nyawa.
Dia ingin melangkah pergi, namun kakinya terpaku. Khabib telah sampai di tanah impiannya, tempat yang disebutnya ‘Negeri Nun Jauh.’
Malam itu, Khabib—yang mampu mengangkat beton besar—bahkan tak sanggup menangisi sahabatnya. Seperti Ali bin Abi Thalib yang tak kuasa menangisi kepergian istrinya.
Malam itu pula, Khabib berjanji akan segera menyusul sahabatnya. Imamnya. Penyemangatnya.
Mereka akan bertemu lagi di Negeri Nun Jauh.
TAMAT