Pemakaian smartphone bagi anak di bawah umur tidak bisa lagi dianggap biasa. Jika dilakukan komparasi antara dampak positif-negatif, hasilnya pasti lebih banyak negatif. Masalah ini seharusnya menjadi salah satu titik tekan pemerintah untuk mengeluarkan Undang-Undang baru. Tapi tak ada himbauan maupun peraturan berarti mengenai hal ini. Mungkin pemerintah belum sadar, atau sadar namun tak peduli, atau malah sadar dan peduli tapi ditunda karena tidak sempat.
Di negara bagian Karnakata, India, penggunaan ponsel bagi anak-anak yang belum mencapai 16 tahun keatas dengan tegas dilarang. Menurut pemerintah setempat pemakaian ponsel mempunyai efek negatif bagi kesehatan anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan sebuah penelitian dilakukan Telecom Engineering Centre (TEC) mengklaim bahwa penggunaan ponsel beresiko terhadap beberapa kelompok orang termasuk anak-anak yang bisa terkena kerusakan otak akibat radiasi ponsel. Tanpa penelitian ini pun kita pasti tau bahwa semua perangkat yang terhubung Internet pasti memiliki radiasi dan itu tidak baik untuk kesehatan jika terkena secara kontinu.
Di China, orang tua melarang anak menggunakan/memegang/melihat smartphone hingga berumur 12 tahun. Beberapa bahkan enggan mengizinkan anak memakai smartphone jika telah berumur 12 tahun. Karena itu, pemerintah pun tidak perlu turun tangan karena tau bahwa ini sebenarnya peran orang tua dalam mendidik serta mengawasi anak. Ini sama halnya dengan permasalahan wanita karir.
Terlepas dari semua itu, jika kita mau melepas ego sebentar dari pro kontra yang ada, jika dipikir kembali, umur 12 tahun ke bawah bagi anak itu seharusnya dihabiskan dengan orang tua, terserah dalam konteks apapun; bermain, belajar, makan bersama, jalan-jalan, semuanya. Karena sebenarnya itu satu-satunya waktu di mana orang tua bisa benar-benar menghabiskan waktu bersama anak sebagai keluarga yang utuh. Hal ini tak mungkin dilakukan saat anak telah berumur 12 ke atas memasuki masa pubertas. Anak-anak gender laki-laki dan perempuan pada masa pubertas cenderung lebih banyak dan lebih nyaman menghabiskan waktu bersama teman-temannya ketimbang keluarga. Tentu bisa dipastikan kebersamaan orang tua bersama anak hanya berkisar 10 hingga 20 persen. Dan mulai saat itu, kebersamaan antara orang tua dengan anak akan semakin renggang seiring berjalannya waktu hingga akhirnya benar-benar tidak ada saat si anak telah menikah.
Hal di atas pasti menjadi sebuah keniscayaan yang patut direnung oleh para orang tua Indonesia di zaman millenial ini. Jangan sampai kebersamaan keluarga merenggang dini hanya karena robot canggih yang diciptakan manusia sendiri.
Oleh Fadhil Mubarak Aisma