Suara tawa keras terdengar membelah malam, membuat mataku terbuka lebar. Seketika rasa kantukku lenyap. Aku bangkit dari ranjang dan duduk dengan tatapan kosong. Jantungku berdegup kencang. Pikiranku berkecamuk, bulu kudukku meremang. Dari mana suara itu berasal?
Aku mencoba mencari sumber suara tersebut. Dengan langkah ragu, aku keluar kamar, menajamkan pendengaran. Saat mendekati asal suara, tiba-tiba semuanya hening. Seolah hanya ilusi. Aku menghela napas dan berbalik hendak kembali tidur. Namun, saat itu juga, aku melihat sosok berdiri di ujung lorong.
Bayangan hitam itu diam tak bergerak. Aku mencoba memperjelas penglihatan, tetapi dalam sekejap sosok itu lenyap. Aku merasakan keringat dingin mengalir di pelipis. Waktu menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Perlahan aku kembali ke kamar, mencoba menenangkan diri. Azan subuh berkumandang, membuyarkan pikiranku.
Saat sarapan, aku bercerita kepada Raziq, sahabatku. Wajahnya tampak pucat saat mendengar kisahku. “Kau juga melihatnya?” tanyanya lirih.
Aku mengangguk. “Kau tahu sesuatu?”
Raziq menatap sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar. Ia mendekat dan berbisik, “Beberapa santri juga pernah mengalami hal serupa. Selalu ada yang melihat sosok itu menjelang subuh.”
Aku merinding. “Siapa dia?”
“Tak ada yang tahu pasti. Tapi orang-orang menyebutnya… Ustadz Adam.”
Aku terdiam. Ustadz Adam? Bukankah beliau sudah lama menghilang? Dulu, beliau adalah salah satu pengajar terbaik di pesantren ini. Namun, suatu hari, ia pergi tanpa jejak. Beberapa orang mengatakan ia meninggalkan pesantren dengan sukarela, sementara yang lain percaya ada sesuatu yang lebih gelap di balik kepergiannya.
Hari itu, aku dan Raziq sepakat untuk menyelidikinya. Kami mencari informasi dari santri senior, tetapi tak banyak yang mau membahasnya. Hingga akhirnya, kami mendengar cerita dari Pak RT kampung sekitar.
“Ustadz Adam bukan menghilang. Ia ditemukan… di hutan belakang pesantren, dalam keadaan yang mengerikan. Jubahnya berlumuran darah. Sejak saat itu, pesantren merahasiakan kejadian ini.”
Aku tercekat. “Darah? Darah siapa?”
Pak RT menggeleng. “Tak ada yang tahu. Mayatnya pun tak pernah ditemukan. Hanya jubahnya yang tertinggal.”
Raziq menelan ludah. “Lalu, apa yang dilihat para santri setiap malam itu…?”
Pak RT menatap kami dengan sorot tajam. “Itulah yang harus kalian temukan sendiri.”
Malam itu, aku tak bisa tidur. Aku dan Raziq akhirnya memutuskan pergi ke hutan belakang. Dengan senter di tangan, kami melangkah hati-hati. Angin berhembus dingin, dedaunan berdesir. Saat kami semakin jauh masuk ke dalam, suara langkah terdengar di belakang kami.
Aku menoleh. Tak ada siapa-siapa.
Tiba-tiba, angin berputar kencang. Dari balik pepohonan, sosok berjubah muncul. Wajahnya samar dalam kegelapan, tetapi matanya menatap tajam ke arah kami.
“Pergilah,” bisiknya. Suaranya serak, menggema di antara pepohonan.
Aku dan Raziq terpaku. Tak mampu bergerak, tak mampu berteriak. Sosok itu perlahan mendekat, lalu berhenti tepat di depan kami. Tangan kurusnya mengarah ke jubah yang dikenakannya. Saat itu juga, kami melihatnya. Noda darah yang masih segar.
Aku tak bisa bernapas. Raziq menggenggam tanganku erat. “Kita harus pergi,” bisiknya.
Namun, sebelum kami sempat berlari, sosok itu menghilang. Yang tertinggal hanyalah suara angin berdesir dan… jubah berdarah yang tergeletak di tanah.
Kami tak berani menyentuhnya. Dengan gemetar, kami mundur perlahan dan berlari sekencang mungkin kembali ke asrama. Sejak malam itu, aku tak pernah lagi mendengar suara tawa di lorong pesantren. Namun, setiap kali melintasi tempat itu, aku bisa merasakan tatapan seseorang yang tak kasat mata.
TAMAT.