Asset 3 (3)

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM

UMMUL AYMAN

SAMALANGA-BIREUN-ACEH

Berita Terpopuler

IMG_2720

Penerimaan Santri Baru Dayah Ummul Ayman Tahun 2025/2026

WhatsApp Image 2024-12-07 at 01.23.50

Terimakasih Sahabat

YUA00371

Silaturrahmi IKABUA Bersama Waled Dalam Acara “Woe U Rumoh Asai” Ke-24

YUA00148

Kabilah Bustanul Ulum Aceh Timur Kembali Meraih Juara Umum Pada Milad Dayah Ummul Ayman Yang Ke 34

_YUA0360

Wisuda di Dayah Ummul Ayman Samalanga: 273 Santri Berbahagia Menyelesaikan Perjalanan Pendidikan

DSC09409

Pengumuman Kelulusan Santri Baru Tahun Ajaran 2024-2025

Buku & Pena

Oleh Noval Bentara (16), juara 1 dalam lomba esai literasi Ummul Ayman

Meskipun Indonesia memiliki wilayah yang luas dan menempatkan kepadatan penduduknya pada urutan ke-4 di seluruh dunia, Indonesia tetap masih diakui sebagai negara berkembang dan bukan negara maju. Padahal Singapura yang hanya memiliki luas wilayah terkecil dan kepadatan penduduknya rendah sudah diakui sebagai negara maju. Timbul pertanyaan, kenapa hal itu terjadi? Padahal sekarang ini Indonesia tidak lagi bergantung –sepenuhnya– pada alam, sudah membuka lapangan kerja yang banyak –meskipun masih banyak pengangguran– serta Indonesia telah berhasil memanfaatkan sumber daya alam yang sangat melimpah. Namun kenapa Indonesia masih dianggap sebagai negara berkembang? Ternyata penyebabnya terdapat pada para penduduk Indonesia. Karena Indonesia masih minim dalam hal sumber daya manusia, artinya meskipun memiliki penduduk yang banyak, hanya beberapa persen kecil para penduduk yang berperan bagi kemajuan dan kesejahteraan negara Indonesia. Lalu apa masalahnya? Apakah karena penduduk Indonesia tidak berpendidikan?

Jawabannya ada dua; pertama tentu tidak! Alasannya karena banyak penduduk Indonesia yang berhasil melanjutkan pendidikannya ke Universitas terkenal di luar negeri bahkan menjadi orang paling penting di dalam maupun di luar negeri. Kedua bisa jadi karena meskipun hidup di zaman globalisasi, masih banyak para penduduk yang putus sekolah, baik terpaksa maupun sukarela. Bahkan ada masyarakat yang tidak pernah menginjakkan kakinya di sekolah. Kenapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya relatif. Sebagiannya kadang ada anak yang tidak sekolah karena tidak memiliki biaya. Lantas kenapa pemerintah Indonesia membiarkan hal itu terjadi? Kenapa mereka lebih mengedepankan sumber daya alam dari pada sumber daya manusia? Padahal yang berperan penting bagi kemajuan negara adalah tingginya sumber daya manusia atau kualitas penduduk di negara tersebut.

Namun itu adalah kisah Indonesia yang dulu –meskipun sampai saat ini kisah itu masih terjadi– karena sekarang pemerintah Indonesia mulai mengedepankan kualitas para penduduk dengan dibukanya sekolah sekolah gratis bagi rakyat miskin dan dibuka lapangan kerja bagi pengangguran. Namun meskipun pemerintah telah melakukan hal itu semua, tetap diperlukan kesadaran dari rakyat pribadi terlebih dalam hal belajar dan mengajar, baik orang tua atau guru wajib menerapkan metode tambahan baik di sekolah atau di rumah dalam kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah seperti sistem literasi, karena sistem literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu keluarga dan masyarakat. Sistem literasi pun mampu memberantas kemiskinan mengurangi angka kematian anak pertumbuhan penduduk dan lain sebagainya.

Sistem literasi sendiri tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Artinya Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa yaitu membaca dan menulis. Maka dari itu penting bagi pendidik atau orang tua untuk membiasakan anak anaknya untuk membaca dan menulis, terlebih dibiasakan sejak usia dini yaitu sekitar umur 6 sampai 12 tahun. Usia ini adalah waktu yang tepat untuk membiasakan sesuatu terhadap anak-anak termasuk menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis.

Lantas kenapa membaca harus menjadi metode tambahan bagi kita? Karena membaca itu sangat penting bagi setiap orang, juga membaca dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan bagi orang-orang yang melakukannya. Alasannya karena buku merupakan jendela dunia. Jadi jika kita rajin membaca sama dengan kita sudah berkeliling dunia. Namun meskipun kebanyakan orang telah mengetahui kelebihan dari membaca, tetap saja kegiatan ini yang belum banyak dilakukan, khususnya bagi para remaja. Hal ini menjadi keprihatinan banyak pihak, baik pendidik orang tua atau pemerintah.

berdasarkan hasil survey lembaga internasional yang bergerak dalam bidang pendidikan, United Nation Education Society and coltural organization (UNESCO), minat baca penduduk Indonesia jauh di bawah negara-negara Asia lainnya, dan Indonesia tampaknya harus banyak belajar dari negara-negara maju dengan kebiasaan masyarakat membaca buku dengan selera tradisi membaca yang tinggi sehingga berimbas pada begitu pesat peradabannya. Masyarakat negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka ke mana pun mereka pergi. Kadang kita lihat buku tak pernah lepas dari tangan mereka, saat antri membeli, menunggu kereta, dalam bus, di bandara, kedai kopi, maupun tempat-tempat lainnya.

Di Indonesia, kebiasaan itu belum tampak. Sekarang ini, remaja membaca buku apabila sedang membutuhkan sumber untuk mengerjakan tugas. Fenomena ini sering terjadi saat seorang mahasiswa sedang menyusun tugas akhir atau skripsi. “Memang budaya membaca kini sudah tidak lagi menjadi kebutuhan bagi generasi muda. Hal ini disebabkan karena kurang kontrolnya keluarga dan masyarakat terhadap anak dalam pemanfaatan teknologi sekarang ini,” ujar profesor Dr. H. Suwardi Lubis MS. Suwardi yang juga dosen komunikasi di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIK-P) Medan, menambahkan akibat dari kurangnya budaya membaca, pola pikir remaja menjadi praktis dan itu membuat mereka mudah prustasi. Padahal dengan membaca pola pikir seseorang akan lebih terbuka dan banyak hal-hal positif yang didapatkannya. Beliau juga berpesan kepada generasi muda agar menyadari bahwa buku itu adalah jantung kehidupan. Karena dengan membaca buku, wawasan serta pengetahuan kita akan semakin bertambah.

Kemudian, membaca sendiri tidak bisa terlepas dari tulis-menulis. Karena membaca dan menulis merupakan dua aplikasi penting yang saling berhubungan satu sama lain. Jika saja tidak ada tulisan, sama saja seperti kita berada di zaman pra-sejarah. Tulisan sendiri merupakan bentuk rekaman sejarah yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga berabad-abad lamanya.

Dalam sejarah peradaban Islam, kita dapat melihat bagaimana tradisi literasi Islam melahirkan tulisan-tulisan para pemikir dan ulama muslim klasik yang sudah berumur ratusan tahun, sampai saat ini masih eksis dipelajari di berbagai lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren. Kitab-kitab yang ditulis para ulama dan intelektual muslim era klasik merupakan sebuah warisan intelektual yang sangat berharga bagi pembangunan Khazanah intelektual Islam dari generasi ke generasi. Tulisan merupakan bukti dari jejak rekam sejarah peradaban manusia yang berupa peristiwa, pengalaman, pengetahuan, pemikiran dan ilmu pengetahuan. Tulisan dapat menembus dan menelusuri lorong-lorong ruang dan waktu di masa lampau. Seandainya saja di zaman ini tidak ada lagi tulisan atau orang yang menulis, pasti kita akan kembali ke zaman prasejarah. Namun faktanya justru peradaban kita saat ini bisa dikatakan sebagai peradaban tulisan atau peradaban teks, terbukti dari banjir informasi yang diterima setiap hari, dari berbagai media cetak maupun elektronik. Sebagian besar berbentuk teks atau tulisan. Intinya tulisan telah mengisi seluruh ruang kehidupan manusia modern di era globalisasi saat ini.

Dalam dunia pendidikan khususnya, tulisan mutlak diperlukan. Buku-buku pelajaran maupun buku bacaan lainnya merupakan sarana untuk belajar para peserta didik di lembaga-lembaga sekolah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tanpa tulis dan baca, proses transformasi ilmu pengetahuan tidak akan bisa berjalan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tulisan, budaya membaca, serta menulis di kalangan masyarakat. Maka dari itu, karena pentingnya membaca dan menulis dalam kehidupan kita, sebagai orang tua, guru atau pemerintah wajib mendorong anak-anak untuk melakukan kegiatan literasi –membaca dan menulis—dan mestinya kita memperhatikan upaya yang kita buat agar anak-anak menyukai membaca dan menulis dengan suka hati bukan paksaan, seperti memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh dalam diri anak, baik faktor internal atau eksternal. Faktor internal meliputi intelegensi, usia, kemampuan, sikap, serta kebutuhan psikologi. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan, status sosial orangtua atau keluarga dan guru. Membaca serta menulis dalam kehidupan mestinya kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ingatlah pepatah Inggris mengatakan, “satu buku satu pena, dapat mengubah dunia.”

Kisah Inspiratif

Berita Terkini

.