Masih di abad pertengahan Baghdad. Saat itu, Abu Nawas yang berpura-pura menjadi gila demi tidak menjadi qadhi tetap disegani masyarakat. Ini disebabkan oleh banyaknya persoalan yang muncul di berbagai kalangan masyarakat dapat ia jawab. Hingga Raja pun sangat tertarik untuk berbincang dengannya. Ia dikenal sebagai orang gila sekaligus orang cerdas.
Suatu ketika sang Raja sedang berbincang dengan Abu Nawas, datanglah tiga orang yang berbeda umur, tingkatan pikiran dan ketaatan secara bergantian kepada Abu Nawas. Ketiga orang tersebut menanyakan sebuah pertanyaan yang sama.
Orang pertama datang adalah anak kecil yang bertanya, “Apakah matahari itu besar atau kecil?” Abu Nawas menjawab, “Matahari itu kecil.” anak itu pun berlalu.
Tak lama, orang kedua datang bertanya, ia adalah seorang ilmuan terkenal kala itu, “Wahai Abu Nawas, apakah matahari itu besar atau kecil?” Abu Nawas menjawab, “Matahari itu besar.” Ilmuan itu pun pergi.
Kemudian, orang ketiga pun datang bertanya, ia adalah seorang yang tua renta, “Wahai Abu Nawas, apakah matahari itu besar atau kecil?” Abu Nawas menjawab, “Matahari itu kecil.” Orang tua itu pun pergi.
Sang Raja yang dari tadi menyaksikan hal tersebut merasa heran dan bertanya, “Mengapa kau menjawab tiga pertanyaan yang sama dengan jawaban yang berbeda. Bukankah seharusnya jawabannya sama?”
Abu Nawas menjawab, “Aku menjawabnya sesuai dengan kadar usia, cara pikir dan keilmuan masing-masing. Orang yang pertama datang adalah anak kecil, keilmuannya tentu sangat sedikit. Ia melihat sesuatu dengan mata kepalanya. Aku mengatakan padanya bahwa matahari itu kecil karena memang secara kasat mata, matahari memang kecil. Orang kedua yang datang adalah seorang ilmuan, ia ahli dalam bidang sains. Ia melihat sesuatu dengan mata pikiran. Aku mengatakan padanya bahwa matahari itu besar karena ilmu astronomi mengatakan demikian. Sedangkan yang ketiga datang adalah orang yang telah tua renta. Namun kau harus tau bahwa ia sebenarnya seorang sufi. Seorang sufi itu tidak melihat sesuatu dengan mata kepalanya. Pun tidak dengan mata pengetahuannya. Tapi seorang sufi melihat dengan mata hati. Aku mengatakan padanya bahwa matahari itu kecil karena memang pada hakikatnya, semua yang ada di semesta ini adalah kecil. Termasuk matahari. Yang besar hanyalah zat yang satu, Dialah sang pencipta segalanya. Dialah Allah, Tuhan sekalian alam.”
Janganlah sekali-kali melihat sesuatu dengan mata dhahir, karena itu adalah pengelihatan anak kecil. Pun jangan pula melihat dengan akal pikiran. Karena akal adalah makhluk yang lemah. Tapi lihatlah dengan mata hati, karena itu adalah cara pandang seorang sufi.
Artikel oleh Fadhil Mubarak Aisma