Oleh Akram Al-Farasyi, Santri Dayah Ummul Ayman
Rasul berasal dari kata رسول (Arab), merupakan kata tunggal dengan bentuk jamak رسل, yang berarti utusan. Sedangkan Rasulullah dapat diartikan seorang utusan Allah.
Syekh Abi Bakar Usman bin Muhammad Syatha dalam I’anah al-Thalibin juz 1, halaman 21, menggariskan bahwa kedatangan seorang Rasul Allah swt. mengemban tugas profetik berupa mengatur hal ihwal makhluk di dua alam, yakni alam dunia dan alam akhirat. Karenanya, berbagai problema hidup dan bagaimana kiat meraih ridha Allah, Rasulullah tentu bertanggung jawab memberikan solusinya.
Dilihat dari apa yang diembannya, wajib dan sama sekali tidak canggung jika seorang Rasul memiliki individualitas kebenaran, amanah, penyampai pesan Tuhan, dan genial atau terang akalnya. Kepribadian seorang utusan dengan keempat sifat itu jelas mendeskripsikan betapa istimewa dan besarnya tugas yang dibopong.
Rasulullah adalah seorang manusia, sosok yang dianugerahi nafsu plus hati sebagai wadah berpikir dan menimbang. Rasul sepenuhnya manusia dan demikianlah alasan agar dakwah dapat dengan mudah diterima umat manusia sebab pembawanya berasal dari golongan yang sama (Matan Sanusi).
Dalam Islam, manusia ditetapkan sebagai pemimpin, pengelola, atau khalifah berdasarkan sebutan QS. al-Baqarah ayat 30. Tugasnya adalah menata dan mengeksplorasi semesta dengan bijaksana sesuai tuntunan Ilahi. Kendati begitu, manusia tidak bisa memaksimalkan bahkan mengatur itu semua termasuk dirinya sendiri tanpa bangkitnya Rasul.
Lebih lanjut, masih di I’anah al-Thalibin, Syekh Abi Bakar Usman bin Muhammad Syatha menjelaskan bagaimana Fiqh bisa lahir dan juga karenanya lahir agama Islam. Bahwa tujuan utama Rasul Muhammad SAW diutus ke dunia adalah untuk mengatur kesinambungan hal ihwal makhluk dunia dan akhirat.
Hal ihwal dunia-akhirat makhluk ini tidak akan bisa teratur sedemikian rupa kecuali jika sempurna: pertama kekuatan kognitif (Idrakiyyah), kedua kekuatan nafsu (syahwaniyyah) baik nafsu perut maupun nafsu kemaluan, ketiga kekuatan amarah.
Dalam pada itu, maka lahir aturan-aturan Fiqh menjadi empat bagian. Seperempat ilmu Fiqh membahas aturan ibadah untuk mengontrol kekuatan idrakiyyah. Seperempat membahas aturan mu’amalah untuk mengontrol nafsu perut. Seperempat membahas aturan menikah untuk mengontrol nafsu kemaluan. Dan seperempat lagi membahas aturan jinayat untuk mengontrol nafsu amarah.
Rubu’ Ibadah, rubu’ mu’amalah, rubu’ munakahat, dan rubu’ jinayat, keempatnya adalah komponen Fiqh sebagai ilmu.
Beranjak dari sinilah mengapa hampir semua kitab-kitab fiqh termasuk yang kecil sekalipun semisal Matan al-Taqrib, diatur sedemikian rupa dengan mengelompokkan porsi bahasannya menjadi 4 bagian. Seperempat pertama berisi kajian ibadah, seperempat kedua berisi asas-asas pemenuhan kebutuhan Muamalah, seperempat ketiga memuat konsep-konsep Munakahat dan terakhir diisi dengan bahasan Jinayat. Sedangkan penutupnya adalah bab itqi (memerdekakan hamba sahaya) karena harapan mulia agar bisa merdeka (terbebas) dari api neraka di yaumil miy’ad kelak. (Abi Bakar Usman bin Muhammad Syatha, I’anah al-Thalibin juz 1 hal. 21)
Melalui kutipan uraian kitab di atas, tentu sangat menarik mengetahui bagaimana penulisan karya ilmiah ulama dahulu yang setiap jengkal tatanan bahasannya mengandung filosofi masing-masing, bahkan terkadang dilandasi alasan tak terduga yang muaranya adalah doa bagi diri sendiri.
Sahabat Thalabul Ilmi! Setelah mengetahui betapa luar biasa para ulama dalam menyusun sebuah kitab, seyogyanya dapat memotivasi dan menambah minat belajar agar terus giat, istiqamah dan senantiasa berdoa pada Allah swt., moga saja suatu saat nanti, kita ditempatkan bersama-sama dengan para ulama di sisi-Nya.
Editor: Fadhil Mubarak Aisma