Jebolan S3 Universitas Al-Azhar Mesir, Tgk Amri Fatmi asal Lueng Putu-Pijay dipercaya memberikan tausiah pada penutupan acara Musabaqah dalam rangka Milad ke 28 Dayah Ummul Ayman Samalanga sekaligus menyambut tahun baru islam 1440 H, Minggu malam, 16 September 2018.
Dalam isi tausiahnya, Tgk Amri Fatmi memberikan banyak ilmu dan motivasi kepada santri dayah yang didirikan pada tahun 1990 oleh salah seorang Ulama Kharismatik Aceh, Tgk H Nuruzzahri Yahya atau Waled Nu Samalanga.
Apa yang disampaikan Tgk Amri merupakan dua gabungan materi antara pelajaran di balik hijrah serta perjuangan Rasululllah SAW dan semangat dalam menuntut ilmu.
Kata Tgk Amri, kita perlu belajar tidak hanya pada orang sukses, tapi juga pada orang yang gagal. Belajar pada orang sukses agar kita tahu dan bisa menerapkan apa saja modal yang mereka miliki, sehingga kita juga ikut menjadi orang sukses. Sedangkan belajar pada orang gagal agar kita tahu kesalahan apa yang menyebabkannya gagal, sehingga tidak terjadi atau terulang pada kita.
“Kita belajar pada orang yang gagal supaya kita tidak gagal seperti dia, kita belajar pada orang yang berhasil untuk mengambil semangat dan bagaimana dia berhasil. Jadi, yang gagal manfaat bagi kita, yang berhasil lebih lagi manfaatnya”, demikian tips menanamkan semangat belajar ala Tgk Amri.
Jelas Tgk Amri lagi, sebagai orang islam, apalagi santri, sangat sewajarnya menjadikan perjuangan Nabi Muhammad SAW sebagai pelajaran penting. Betapa Rasulullah SAW memiliki sifat sabar yang begitu besar. Tak kurang dari 26 kabilah Arab Makkah menolak mentah ajaran Beliau sejak kenabian.
“Adek-adekku, apakah Nabi gagal?” Tanya Tgk Amri. “Tidak, Nabi sama sekali tidak gagal”, tegasnya.
Sebagai bentuk usaha, banyak strategi dan kemungkinan yang Nabi lakukan, kemudian barulah berserah diri dan tanpa harus bersedih hati. Hingga akhirnya Rasulullah SAW tiba di Madinah dan menemukan titik kejayaan disana.
Kisah tersebut disampaikan Tgk Amri saat mengupas salah satu dari enam syarat belajar yang disyairkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah, yakni sifat sabar.
Enam syarat belajar itu yakni; dzakak (cerdas), hirsh (loba), isthibar (sabar), bulghah (bekal material), irsyadi ustadz (patuh petunjuk guru), dan thuli zaman (lama masa).
Begitu pula halnya dalam belajar, harus punya cita-cita besar dan jangan mudah menyerah padahal kita belum melakukan sepenuhnya.
“Berusahalah sampai pada titik kemungkinan terakhir yang bisa kita buat, nanti selanjutnya biar Allah yang tentukan hasilnya”, ujar Tgk Amri.
“Jangan pernah merasa gagal hanya karena satu dua usaha yang kita lakukan dan hasilnya belum kita dapatkan”, tambahnya lagi.
Satu-satunya putra Aceh yang meraih gelar doktor jurusan Akidah Filsafat di Al-Azhar itu juga mengajak santri untuk belajar dari seorang ilmuwan terkenal, Thomas Alva Edison. Bahwa sejatinya, tidak ada istilah gagal dalam hidup ini. Yang ada, kita hanya belum menemukan langkah tepat yang mengantarkan kita pada titik keberhasilan. Kecuali jika kita terlalu cepat memilih berhenti.
Sosok intelektual yang memiliki nama lengkap Dr Tgk H Amri Fatmi Anziz Lc MA juga mengisahkan sedikit banyak kisah perjalanan dirinya dalam dunia pendidikan dari Sekolah Dasar di kampung halamannya hingga belajar ke Mesir. Menurutnya, belajar memang tak mesti ke Mesir. Tapi harus kita sadari, bahwa belajar ke banyak negara dan tempat merupakan sunnah para ulama kita dahulu. Tentunya dengan tekad yang besar.
Kemudian Tgk Amri membacakan beberapa bait sya’ir Imam Syafi’i:
1. Tidak usah orang yang memiliki akal dan adab yang baik berlena-lena di tempat tinggalnya, tetapi tinggalkan tempat itu dan merantaulah (untuk menuntut ilmu)
2. Bermusafirlah, engkau akan dapatkan pengganti dari orang yang kamu tinggalkan.
3. Aku melihat air itu kalau berhenti dia keruh, tapi kalau mengalir dia akan jernih.
4. Singa itu baru dikenal buas ketika dia telah keluar meninggalkan sarangnya.
5. Anak panah jika tidak meninggalkan busur dia tidak akan mengenai target.
Imam Syafi’i sendiri berkelana mencari ilmu mulai dari tanah lahirnya Ghaza menuju ke Makkah, Madinah, kemudian Baghdad sampai akhirnya Mesir dan wafat disana. Hampir semua ulama kita berpindah mencari ilmu seperti itu.
Hijrah Rasulullah SAW sendiri mengajarkan kita bahwa perpindahan itu merupakan wujud dari perjuangan seorang anak manusia untuk mendapatkan sebuah istintaj (hasil, tujuan, red).
Sebagai kenang-kenangan, di penghujung tausiahnya, alumnus Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB) Aceh Besar itu memberikan sebuah “hadiah” untuk santri. Hadiah tersebut berupa gubahan syair milik Almutanabbi, seorang sastrawan islam terkenal.
Dirinya mengaku, sya’ir itu sempat ditempelnya di kamar tidur saat masih belajar di Negeri Piramida dan ternyata memberikan semangat yang luar biasa untuk dirinya.
Sya’ir tersebut dibacakan Tgk Amri dengan diikuti oleh santri. “Saya bacakan sya’irnya, kalian ikuti, mau dihafal ya? Pinta Tgk Amri lantas membacakan syair dengan diulang beberapa kali. Santri pun dengan seksama mengikuti bacaan itu.
إِذا غامَرتَ في شَرَفٍ مَرومٍ
فَلا تَقنَع بِما دونَ النُجومِ
فَطَعمُ المَوتِ في أَمرٍ صَغيرٍ
كَطَعمِ المَوتِ في أَمرٍ عَظي
Kalau engkau memiliki cita-cita yang tinggi, cita-cita yang mulia, maka jangan pernah merasa puas sebelum sampai ke bintang.
Rasa (sakit) mati karena sesuatu yang kecil sama saja (sakitnya) dengan rasa mati yang diakibatkan oleh sesuatu yang besar.
“Jika ingin mengarungi sebuah cita-cita tinggi lagi mulia, jangan pernah berhenti sebelum menggapai bintang. Rasa mati karena sesuatu yang sepele sama saja dengan rasa mati oleh sesuatu yang besar. Mati di tempat tidur gara-gara salah makan rasanya itu sama saja dengan mati ditembak Israel. Maka untuk mati dengan sebuah cita-cita janganlah cita-cita yang rendah, tapi matilah untuk sebuah cita-cita yang tinggi, siapa dia (pemilik cita-cita tinggi itu)? Almuta’allim (penuntut ilmu)”, pungkas Tgk Amri.
Bagi anak Ummul Ayman yang notabenenya haus dan tahu betapa berharganya sebuah ilmu, sudah tentu sya’ir yang dihadiahkan Tgk Amri itu jauh lebih berharga di banding butiran mutiara di dasar samudra. (MY)