Oleh Fadhil Mubarak Aisma
Krrr… Krrr… Krrr… Suara folding gate merintih. Seorang pria paruh baya tampak bersemangat membuka tokonya. Ia memakai kemeja putih garis-garis dengan celana hitam berbahan drill. Setelannya menggambarkan ia Saudagar emas kaya yang sukses. “Pagi Pak Qomar!” Sapaan tetangga tokonya. “Pagi.” Jawabnya singkat. Sebenarnya Pak Qomar dan tetangganya itu sebaya. Tapi kumis yang setebal rambut membuatnya terlihat 5 tahun lebih tua dari umurnya.
Toko emas Pak Qomar letaknya sangat strategis. Jajaran toko yang menghadap ke jalan kota, tepat di depan pemberhentian lampu merah. Itu membuat tokonya lebih dikenal pelanggan dari pada toko-toko lain.
Hari ini pak Qomar sangat bersemangat membuka toko. Entahlah, tapi ia merasa sepertinya hari ini pelanggan akan banyak. Ya, bulan Syawal memang bulannya cinta. Sebagian melangsungkan pernikahan di bulan ini. Sebagian lainnya hanya meminang. Apa pun itu, tetap saja emasnya akan terjual. Jadi ia merasa hari ini adalah hari keberuntungannya.
Ia berdiri di teras toko. Memanggil penjual koran eceran, membayar, dan masuk lagi ke dalam. Di depan tokonya, terlihat seorang polisi bersiap untuk mengontrol lalu lintas. Terlihat pistol di pinggang kanan dan pentungan di pinggang kirinya. Meski arus mudik mulai reda, tetap saja masih ada potensi macet. Pak Qomar duduk manis di dalam toko membaca koran. “Polisi Tangkap Pelaku Pencurian Bank di Medan.” Headline koran tercetak besar. Ia merenung sejenak. Cukup banyak kasus kriminal bulan ini. Mungkin karena musim mudik. Pak Qomar memandang ke depan. Terlihat polisi itu mulai memainkan tangannya di sana. Jalanan mulai ramai dengan roda dua dan empat. Sekilas ia berpikir canda bahwa akan lucu sekali jika di hari yang sebagus ini ada pencuri yang datang ke tokonya.
Keyakinan Pak Qomar terhadap hari keberuntungannya ternyata terealisasi. Seorang pria berumur setengah abad berjalan cepat menuju tokonya. Ya, keberuntungannya. Pagi yang cerah dengan pembeli pertamanya yang datang cepat, terlalu cepat malah. Tapi untuk apa ya seorang pria berumur ingin membeli emas? Pertanyaan yang lewat sepintas di pikirannya. Tapi bagi Pak Qomar, itu tak penting. Yang penting adalah emasnya laku. Jadi, apa pedulinya. Lagi pula ini memang hari keberuntungannya.
Pria tadi melangkah cepat menuju arah Pak Qomar. Sebelah tangannya disembunyikan ke belakang. Air mukanya menggambarkan keraguan. Ia masuk ke toko. “Silahkan dilihat-lihat dulu.” Kata Pak Qomar ramah. Ia menatap Pak Qomar sekilas. Tatapan yang sulit untuk diartikan. Ia memakai kemeja krem seperti bapak-bapak pada umumnya. “Mau beli gelang atau cin…” Pak Qomar tersentak saat pria itu menodongnya dengan pisau. Spontan ia mengangkat tangan. Pria itu memberikan plastik hitam kepada Pak Qomar. “Masukkan semuanya!!!” Hentaknya. Keringat mengalir deras dari ubun-ubun Pak Qomar. Takut setengah mati. Ia hanya menurut tak berkata. Memasukkan semua perhiasan ke dalam plastik hitam. Tangannya gemetar hebat. Bibirnya membisu seketika, diam seribu bahasa. Hanya menuruti apa yang dia inginkan. Baru sebagian perhiasan yang ia masukkan, pria itu langsung menarik paksa plastik tersebut dan lari.
Kejadiannya begitu cepat. Tak sampai satu menit. Ia tercengang saat perampok itu lari. Tak tau harus berbuat apa, ia berteriak ke arah polisi lalu lintas, “PERAMPOK … TOLONG… ADA PERAMPOK.. Tolong ada Perampok…” Suaranya melengking cukup keras hingga semua orang melirik ke arahnya. Ia berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah pria yang sedang berlari. Polisi lalu lintas itu refleks mengejar.
Orang-orang toko sekitar mulai berkerumunan melihat keadaan Pak Qomar. Matanya terlihat basah. Tapi ia tetap berusaha tegar. Ya. Dia salah. Ini bukan hari keberuntungannya. Orang-orang menanyakan bagaimana keadaannya. Ia hanya mengangguk-angguk isyarat ia baik-baik saja. Tapi tetap saja tidak benar-benar baik.
Pak Qomar meyakinkan orang-orang untuk ke sekian kalinya bahwa ia baik-baik saja kemudian memutuskan menutup toko dan pulang menenangkan diri. Krrr… Krrr… Krrr… Ia menarik folding gate. Rintihannya seolah mengejek Pak Qomar yang terlalu yakin dengan keberuntungannya. Ya. Sekali lagi, ini bukan hari keberuntungannya. Dengan perasaan resah, ia ke parkiran, masuk ke mobil dan pergi.
Dalam mobil Pak Qomar terus gelisah. Pikirannya tak karuan. Ia sedih, kecewa, marah, khawatir, semuanya bercampur menjadi satu. Ia menyetir cepat. Pikirannya terlalu kacau. Mobilnya melaju semakin cepat. Terlalu cepat untuk jalanan kota. Ia mulai berpikir tentang betapa bodohnya dia yang tak mampu berbuat apa-apa saat perampok itu menodong senjata tajam ke arahnya. Padahal ia bisa saja melawan. Ia mulai mengutuk dirinya sendiri. Seandainya saja ia melawan, pasti perampok itu tidak bisa melarikan diri. Ia menyesal. Pak Qomar terlalu keras berpikir terhadap hal yang nyatanya tidak bisa ia ubah kembali. Itu membuatnya lupa bahwa ia sedang menyetir. Membuatnya menemui insiden lainnya.
Pedagang kaki lima terlihat sedang menyebrang jalan saat mobil dengan kecepatan 100 kilometer per jam melaju membelah jalanan. Pak Qomar secara spontan kaget langsung mengerem, tapi mobilnya masih saja melaju kencang. Ia membelokkan setir ke kanan arah trotoar dan sialnya, ia menabrak seseorang.
*****
Secangkir kopi hangat terseduh manja di atas meja kayu. Kepulan asap aroma khas menggugah selera. Hitam pekatnya merayu untuk diseruput. Seseorang mengaduknya perlahan. Tak mau kopinya tumpah setetes pun. Ia mengenakan seragam polisi dengan baret yang diletakkan di samping kopi. Mengangkat cangkir setelah semenit mengaduk. Srupp.. Srupp.. Ia menyeruput dua kali. Memang tak ada yang lebih nikmat dari secangkir kopi sambil duduk santai di kantor dengan cuaca pagi sebagus ini. Ia meletakkan cangkir kembali dan membaca koran. Di halaman utama headline tercetak besar, “Polisi Tangkap Pelaku Pencurian Bank di Medan.”
Sembari membaca, ia mulai mengingat-ingat detail aksi heroiknya saat menggagalkan perampokan bank kemarin. Ia sangat ingat bagaimana raut wajah kedua orang pelaku itu. Tingkah mereka memang sangat mencurigakan bahkan untuk masyarakat biasa. Bagaimana tidak, mereka sudah satu jam bolak-balik keluar masuk bank dengan sangat teratur.
Saat kejadian itu terjadi, naluri polisinya langsung keluar. Belum sempat perampok itu mengeluarkan pistol, ia langsung menggagalkannya dan keduanya bungkam. Karena insiden tersebut, ia langsung naik pangkat. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa bersantai di kantornya sambil menyeruput kopi. Pasti ada saja tugas yang akan diterimanya dari atasan. Menertibkan lalu lintas contohnya. Yah.. Sekarang ia hanya turun ke lapangan jika ada kasus kriminal yang cukup serius saja.
Ia mengambil kembali cangkir kopinya, hendak menyeruput, tapi… Telelelelet… Telelelet… Suara telepon membuatnya meletakkan kembali kopinya dan mengangkat telepon. Suara di seberang terdengar mendebarkan. “Ok, saya ke sana sekarang. Rumah sakit mana?” Ujarnya tegas bak komandan. Ia menyeruput kopinya sekali lagi, mengambil kunci mobil dan pergi.
Dengan alamat yang diberikan anak buahnya, ia pergi ke rumah sakit yang dimaksud. Mobilnya tepat berhenti di depan rumah sakit. Ia berjalan gegas. Menelusuri koridor rumah sakit dan masuk ke sebuah bangsal pasien. Ia menatap seseorang. Kaki kanannya terbalut perban besar. Celananya berlumuran darah.
“Selamat Pagi Pak Indra, Namanya Kusuma, umur 49 tahun, dia merampok toko emas di depan lampu merah kawasan saya pak. Saat itu dia mencoba melarikan diri, jadi terpaksa saya tembak.” Polisi lalu lintas itu memberi laporan singkat kepada atasannya. “Saya ambil alih dari sini, silahkan kembali bertugas!” “Siap laksakan!”
Pak Indra mendekati pria itu, menatapnya lekat-lekat. Wajahnya penuh rasa takut. Dan ragu. Baru saja Pak Indra ingin memulai introgasi, tapi suara ponsel membuatnya menunggu. “Halo” Suara serak Kusuma mengangkat telpon. Ia mendengar suara di seberang. Terkejut. Lalu pingsan. Pak Indra hanya termenung. Kenapa dia pingsan?
*****
Kusuma adalah seorang kepala rumah tangga. Ia punya istri dan seorang anak laki-laki. Ia tidak punya harta melimpah. Tapi bukan berarti tidak bisa menafkahi keluarga kecilnya. Istrinya adalah wanita biasa. Kecintaannya kepada istri dan putra tunggalnya itu melebihi apa pun. Mereka bertiga tinggal di sebuah rumah. Tak besar memang, tapi cukup memadai. Kehidupan mereka pun sama seperti rata-rata keluarga pada umumnya. Suami bekerja, istri mengurus rumah tangga, dan anak bersekolah. Gaji Kusuma pun tak terlalu besar, tapi setidaknya lebih dari cukup untuk biaya sekolah anaknya yang beranjak SMA.
Benar. Keluarga yang normal. Tapi ada satu hal yang istimewa di keluarga Kusuma. Anaknya, sangat menyayangi ibunya lebih dari apapun. Apa yang ibunya katakan, pasti diturutinya. Bahkan terkadang saat Kusuma sedang marah dengan anaknya, istrinyalah yang menjadi jembatan komunikasi antara ia dan anaknya.
Yah. Begitulah keluarga Kusuma. Bahagia, penuh kasih sayang. Setidaknya hingga sebelum tragedi itu terjadi. Tragedi yang merenggut semua hal yang dimiliki keluarga kecil nan bahagia ini. Malangnya, Istri Kusuma, yang sangat ia cintai, terkena stroke dan meninggal dunia. Semuanya redam. Semuanya suram.
Anak Kusuma Strees berat. Ia mengamuk sehari setelah tragedi itu. Semua barang-barang dalam rumah berserakan. Kusuma mencoba menenangkan, tapi ia benar-benar tertekan. Ibu yang selama ini mencintainya, menyayanginya, telah tiada. Tak ada lagi kasih sayang. Tak ada lagi tawa dan canda. Yang ada hanya redam. Yang ada hanya Suram.
Hari-hari berikutnya tentu tidak akan pernah sama. Hal-hal aneh mulai tampak pada psikologi anaknya. Meski tak jelas, tapi ada. Setiap Kusuma ingin memulai pembicaraan, anaknya selalu menghindar. Ya. Selalu seperti itu. Hingga Kusuma memutuskan untuk berhenti mencoba.
Bayangkan seorang ayah yang tinggal seatap dengan anaknya tapi ia merasa kesepian. Tak ada kawan bicara. Tak ada kawan bercanda. Benar-benar hampa. Begitu seterusnya hari-hari terlewat.
Meski tak bicara bukan berarti Kusuma tidak peduli. Hei, itu darah dagingnya. Tak ada ayah yang setega itu. Ia tetap memantau dalam diam setiap kelakuan anaknya. Benar. Makin lama makin aneh. Anaknya, yang ia cintai, mulai tertawa sendiri di dalam kamarnya. Kusuma kembali berniat untuk memulai bicara tapi urung. Ia tau itu akan membuat keadaan semakin memburuk. Jadi, dia pura-pura tak peduli, benar-benar tidak peduli.
Hingga suatu pagi, saat ia baru saja ingin berangkat kerja, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Tidak. Bukan seorang. Tiga orang. Ketukannya terlalu keras untuk bisa dikatakan sebagai sebuah permisi. Waktunya pun terlalu pagi untuk bertamu tanpa informasi. Kusuma membuka pintu. Belum sepenuhnya pintu terbuka, seseorang di luar langsung masuk ke dalam rumah. “HEI BOCAH… KELUAR KAU!!! JANGAN BERSEMBUNYI!!!” Suaranya sangat keras, membuat telinga yang mendengarnya pekak. Anak Kusuma langsung keluar dari kamar. Berlari melewati Kusuma, membelakanginya. “Saya janji bang, besok akan saya bayar!” Ujarnya cepat. Kusuma memegang bahu kanan anaknya, menariknya ke belakangnya. Kusuma bertatapan dengan tiga preman itu. “Maksudnya apa kalian datang ke sini? Ini rumah saya! Kenapa anak saya harus membayar ke kalian?!” Kusuma sedikit membentak. Hanya sedikit, tapi cukup membuat preman itu marah. Ia mendorong keras Kusuma ke belakang. Membuat Kusuma hampir jatuh ke belakang, tapi sempat disangga oleh anaknya. “KAU TAU APA? Anak kau ini sudah ambil barang sama kami 5 kali. Tapi dia belum bayar satu pun!!!” Bentak salah satu preman itu. “Ba.. Barang apa maksudnya? Berapa hutang anak saya ke kalian?” Suara Pak Kusuma berusaha tegar. “Anakmu ini dia beli sabu sama kita orang… Dia sudah hutang sampai 10 juta. Dan skarang dia harus bayar. Kami akan pergi lagi besok di waktu yang sama.. Kalo besok tetap tidak ada uang, bapak liat saja apa yang akan terjadi sama anak bapak!” Bentakan terakhir dari preman itu. Mereka pergi.
“APA MAKSUDNYA INI?!” Kusuma langsung membentak anaknya. “Kamu pake narkoba?! Kamu tau apa yang kamu lakukan? Ibumu baru saja meninggal dan kamu sudah membuat masalah baru. Kamu tidak sadar kamu berurusan dengan siapa? Preman-preman itu tidak akan segan bersikap kasar kepadamu.. Bahkan mereka bisa saja membunuhmu!! Sekarang mau dari mana kamu dapat uang 10 jt itu hah??! Ya Tuhan…” Anaknya hanya terduduk diam. Ia menatap kosong ke depan. Pikirannya kosong.
Kusuma tak tau harus apa. Ia memutuskan pergi untuk menenangkan diri. Berjalan menyusuri trotoar tanpa arah pasti. Padahal ia telah bersetelan rapi dengan kemeja berwarna krem untuk berangkat kerja, tapi karena masalah yang tengah dihadapinya, sepertinya ia tidak akan ke tempat kerjanya. Ia duduk di halte merenung apa yang terjadi. Berusaha mencari jalan keluar. Ia berpikir. Bagaimana cara mendapatkan uang 10 jt dalam waktu kurang dari 24 jam?
Tatapannya lurus ke depan. Di seberang jalan tak jauh dari tempatnya, ia melihat seorang pria paruh baya tampak bersemangat membuka tokonya. Toko emas. Ia melihat ke samping. Ada seorang ibu-ibu dengan banyak plastik besar di sebelahnya. Di dalam plastik-plastik itu ada banyak sayuran, buah-buahan, dan rempah-rempah. Hei. Tunggu dulu. Ada pisau dapur di dalamnya. Tiba-tiba terlintas begitu saja di pikiran Kusuma. Jantungnya berdetak hebat. Keringatnya bercucuran. Tangannya bergetar. Apa yang ia pikiran sekarang bukanlah sebuah pilihan. Tapi jalan keluar. Ia membulatkan tekad. Dengan sangat cepat ia mengambil pisau dan satu plastik besar saat pemiliknya tidak melihat.
Kusuma melangkah cepat ke arah toko emas. Ia berjalan cepat, meski penuh keraguan. Keringatnya terus mengalir. Ia memaksakan kakinya melangkah lebih cepat. Satu tangannya menyembunyikan pisau ke belakang. Ia masuk toko, dan merampok.
*****
Perkenalkan Aldi. Siswa SMA yang bisa dibilang cukup berprestasi. Ia selalu meraih juara kelas. Orangtuanya sangat bangga akan hal itu. Terutama ibunya. Ia sangat menyayangi Aldi. Tentu saja karena Aldi anak tunggal. Begitu pula sebaliknya. Ibu adalah sosok malaikat bagi Aldi. Motivasinya belajar selama ini adalah ibunya. Ia tak pernah membantah perkataan ibu. Dia benar-benar sayang ibu.
Singkatnya, Aldi adalah anak biasa, lahir dari keluarga biasa, dan melalui hidup seperti biasa. Semuanya baik-baik saja; keluarganya, sekolahnya, bahkan prestasinya. Benar. Sama seperti anak-anak lain pada umumnya. Seumur hidupnya, Aldi tak pernah menemui masalah yang serius. Tapi semuanya berubah hari itu.
Ibunya yang ia cintai, terkena stroke dan meninggal dunia. Ibu yang selama ini mencintainya, menyayanginya, telah tiada. Tak ada lagi kasih sayang. Tak ada lagi canda dan tawa. Yang ada hanya redam. Yang ada hanya suram.
Aldi sangat tertekan. Ia stres berat. Ayahnya mencoba menenangkan. Tapi ia menghindar. Aldi hanya bisa menangis tanpa suara di atas pusara. Orang-orang mulai pulang. Tapi ia tetap duduk di sana, ditemani oleh ayahnya. Ia seolah kehilangan hidupnya. Mengira jiwanya telah mati. Padahal ia masih memiliki ayah. Ayahnya selalu setia mendampingi. Tapi Aldi mau ibu.
Dua jam sudah Aldi berada di atas pusara itu. Tanahnya masih basah. Aldi masih menangis. Ayahnya yang tak pernah beranjak dari tadi, melihat jam tangan. Sudah pukul 6 sore. Ia mengajak Aldi pulang.
Malam hari, Aldi duduk di pojok kamarnya. Ia menatap kosong. Mendengar hampa. Membisu kata. Begitu seterusnya. Hingga fajar menjelang, Aldi tidak tidur.
Paginya ia mengamuk. Barang-barang di rumahnya berantakan. Ia sudah hilang akal sehatnya. Ayahnya mencoba menghentikan, tapi ia hanya tak acuh. Ia kembali terduduk di pojok ruang tamu. Tak tau apa yang sedang ia pikirkan. Ayahnya mencoba berbicara, tapi dia hanya diam. Sepanjang hari.

Besok paginya, Aldi berangkat ke sekolah. Dengan baju seragam tanpa pamit dengan ayah. Ya dia pergi ke sekolah. Seolah semuanya baik-baik saja. Seolah semua hal ini tak pernah terjadi. Ia berjalan lambat. Rumahnya ke sekolah memang tak terlalu jauh. Tapi, ia berjalan terlalu lambat. Tunggu dulu. Bukan. Aldi tidak ke sekolah. Sekolahnya lurus ke depan. Tapi ia belok kanan. Menyusuri gang-gang sempit. Meloncati selokan. Ia berjalan lagi dan berhenti. Di depannya ada seseorang duduk di sebuah balai kecil. Tampaknya mirip preman. Oh tidak. Ya Tuhan, apa yang ingin Aldi lakukan? Pria itu adalah bandar narkoba di kawasan tersebut. Ia sudah beberapa kali ditangkap polisi, tapi kemudian dilepas lagi karena tidak ada bukti yang kuat. Dia sangat terkenal sebagai pengedar terbaik di area itu. Tak ada warga yang berani melapornya ke polisi. Jaringannya sangat kuat dan rahasia. Apa yang Aldi inginkan dari preman itu?
Sekitar 5 menit Aldi berdiri di tempat semula. Ia sepertinya sedang membuat keputusan. Keputusan yang sangat menentukan masa depannya. Keputusan yang sangat sulit baginya. Aldi butuh ketenangan. Ia tak bisa menenangkan dirinya sendiri. Ia perlu obat penenang. Tapi bagaimana jika… Aldi kembali berpikir. Ia sangat ingin melangkah, tapi di lubuk hatinya ia menolak. Aldi kembali berpikir. Keputusan yang sulit. Ia punya dua pilihan. Satu, berbalik dan kembali ke sekolah, belajar seperti saat ibunya masih ada. Atau dua, menenangkan diri dengan obat haram.
Aldi mundur satu langkah. Benar. Ia tidak boleh mengecewakan ibu. Tapi… Ia butuh obat itu. Lagi pula, ibunya juga yang salah. Mengapa dia pergi terlalu cepat. Semua ini salah ibu. Bukan salahnya. Aldi memantapkan hatinya. Dan… Dia menemui preman itu.
*****
Suatu pagi, ketukan keras pintu rumah membuat Aldi bangun. Ketukannya terlalu keras untuk bisa dikatakan sebagai sebuah permisi. Waktunya pun terlalu pagi untuk bertamu tanpa informasi. Ayahnya membuka pintu. Belum sepenuhnya pintu terbuka, seseorang di luar langsung masuk ke dalam rumah. “HEI BOCAH… KELUAR KAU!!! JANGAN BERSEMBUNYI!!!” Suaranya sangat keras, membuat telinga yang mendengarnya pekak. Aldi langsung sadar kalau suara itu mencarinya. Spontan ia langsung keluar kamar. Berlari melewati ayahnya, membelakanginya. “Saya janji bang, besok akan saya bayar!” Ujarnya cepat. Dari belakang, ayahnya memegang bahu kanannya, menariknya dan bertatapan langsung dengan tiga preman itu. “Maksudnya apa kalian datang ke sini? Ini rumah saya! Kenapa anak saya harus membayar ke kalian?!” Langsung saja preman itu mendorong keras ayahnya hampir jatuh ke belakang, tapi sempat disangga olehnya. “KAU TAU APA? Anak kau ini sudah ambil barang sama kami 5 kali. Tapi dia belum bayar satu pun!!!” Bentak salah satu preman itu. “Ba.. Barang apa maksudnya? Berapa hutang anak saya ke kalian?” Suaranya serak berusaha tegar. “Anakmu ini dia beli sabu sama kita orang… Dia sudah hutang sampai 10 juta. Dan skarang dia harus bayar. Kami akan pergi lagi besok di waktu yang sama.. Kalo besok tetap tidak ada uang, bapak liat saja apa yang akan terjadi sama anak bapak!” Bentakan terakhir dari preman itu. Mereka pergi.
Ayahnya langsung membentaknya. Memarahinya. Mengatainya. Tapi Aldi hanya terduduk diam. Ia menatap kosong ke depan. Pikirannya kosong. Ia mendengar hampa. Ayahnya pergi. Ia masih diam.
Aldi berpikir kembali setiap detail kejadian belakang ini. Ia merasa hidupnya tak berarti lagi. Ia lantas bangun dan pergi dari rumah. Pikirannya masih sama. Kosong.
Langkahnya pelan. Matanya agak merah. Rambutnya berantakan. Ia berjalan di trotoar. Tanpa arah. Ia memandang kiri-kanan. Ada banyak kendaraan mondar-mandir. Ia terus berjalan. Masih tanpa tujuan. Entahlah. Dia hanya ingin pergi jauh. Sejauh mungkin dari rumah. Perasaannya tak bisa digambarkan. Ia malu, sedih, marah, gelisah, kecewa. Semuanya menjadi satu. Ya, dia hampa.
Di seberang jalan, Aldi melihat seorang pedagang kaki lima. Tampaknya ingin menyeberang jalan. Tapi ada yang aneh dengan raut wajahnya. Pedagang itu terlihat kaget seketika melihat ke arah berlawanan. Aldi bingung apa yang membuatnya kaget? Ia hendak melihat ke Belakang. Belum sempat menoleh dan…. BRUKKKKK. Darah segar merah pekat bercucuran. Aldi tertabrak.
*****
Jadi, apa maksud semua ini? Perhatikan kausalitasnya! Saat Aldi mengalami depresi karena ibunya meninggal, ia punya pilihan untuk memakai narkoba atau tidak. Jika saja Aldi tidak memakai obat-obatan itu, maka dia tidak akan berhutang kepada para bandar. Jika dia tidak berhutang kepada mereka, maka ayahnya, Kusuma tak akan punya alasan untuk merampok toko emas. Jika ayahnya tidak merampok toko emas, maka pemilik toko tidak akan memanggil polisi dan menutup awal tokonya. Jika ia tidak menutup awal tokonya, maka ia tak akan pulang cepat dan mengebut di jalan. Jika dia tidak mengebut, maka Aldi tidak akan pernah tertabrak.
Benar. Setiap satu dari kita, entah bagaimana, terkoneksi dengan yang lain. Semua manusia di seluruh dunia. Setiap perbuatan yang dilakukan, pasti akan berefek kepada orang lain. Persis seperti Domino. Satu saja yang roboh, yang lain ikut roboh. Terus seperti itu. Berlanjut, terus berlanjut, hingga kita sendiri kena reruntuhannya.
*****