Asset 3 (3)

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM

UMMUL AYMAN

SAMALANGA-BIREUN-ACEH

Berita Terpopuler

JAG00022

Haflah Khatham Al-Qur’an Bersama Ayahanda Waled

WhatsApp Image 2025-01-07 at 17.01.46

Pembangunan Jalan Hotmix di Dayah Ummul Ayman, Bukti Komitmen Bupati Mukhlis terhadap Pendidikan Islam

IMG_2720

Penerimaan Santri Baru Dayah Ummul Ayman Tahun 2025/2026

WhatsApp Image 2024-12-07 at 01.23.50

Terimakasih Sahabat

YUA00371

Silaturrahmi IKABUA Bersama Waled Dalam Acara “Woe U Rumoh Asai” Ke-24

YUA00148

Kabilah Bustanul Ulum Aceh Timur Kembali Meraih Juara Umum Pada Milad Dayah Ummul Ayman Yang Ke 34

Terimakasih Sahabat

Hai, namaku T. Imam Mujahid Fillah. Tak terasa ya, waktu berlalu begitu cepat, secuil kenangan terlintas dalam benakku. Sebuah kenangan yang takkan pernah bisa aku lupakan seumur hidup.

“Besok aku bakal mondok di Pesantren Ummul Ayman Samalanga.” Seorang laki-laki muda sedang bermonolog dengan dirinya sendiri dihadapan cermin. Ia sangat menantikan esok harinya yang sangat ia nantikan sedari kecil.

“Imaaam!” Seseorang memanggil namanya dari luar rumah, lantas ia berlari kecil untuk membukakan pintu.

Krek…

“Eh, Moris, eum…  sendiri ya?” ternyata sang sepupu datang menemuinya untuk bermain.

“Imam, main yuk, besok… kita ga bakalan seperti hari ini lagi,” ucapnya dengan rendah dan penuh harap, agar sang empu rumah menerima ajakannya.

“Iya juga ya, yaudah aku ganti baju dulu, tunggu sebentar!”

Imam pun hilang dari hadapan sepupunya. Dengan sabar Moris menunggu ia bersiap-siap. Saat merasa bajunya cocok, Imam pun pergi menghadap Moris untuk  mengajaknya pergi.

Saat sampai ditempat, teman-temannya lantas datang menghampiri mereka berdua, ternyata mereka menunggu Imam sedari tadi. Seorang dari mereka menghampiri dengan mata yang berkaca-kaca.

“Fathan….” Saat Imam memanggil namanya lembut, tangisannya pun pecah lantas memeluk Imam dengan erat.

Bruk…

“Mam…, hiks, jangan pergi, nanti aku bakal kesepian disini,” ucapannya membuat Imam pun meneteskan air matanya, tanpa ia sadari, mereka disekililingnya pun bisa merasakan kepergian temannya itu.

“Ka-kalian jangan me-menangis lagi, hiks… nanti aku ba-bakal balik juga kok,” ucapannya membuat mereka sedikit lega. Lantas mereka pun menyudahi acara menangisnya dengan bermain bersama-sama sepuasnya untuk hari terakhir si Imam. Saat sore tiba, mereka harus pulang ke rumah mereka masing-masing, dengan berat hati, mereka melepaskan Imam untuk hari ini.

Saat tiba dirumah, Imam pun pergi menuju kamar mandinya untuk membersihkan diri. Selepas kegiatannya itu, ia pun merebahkan badannya di atas kasur. Imam pun tertidur dengan lelap.

Keesokan harinya, Imam terbangun dari tidur panjangnya, lantas berdiri dan menuju kamar mandi untuk membuat dirinya lebih segar. Setelah kegiatan rutinnya satu itu, ia pun pergi ke ruang makan, melihat meja makan yang penuh dengan makanan kesukaannya, ia pun tergiur dan langsung menyantap makanan itu.

“Alhamdulillah…,” ucapnya selepas makan.

Ia menatap sekeliling rumah, “kosong…” batinnya. Ia pun bangun dari kursi lantas mencuci tangannya hingga bersih dan pergi keluar rumah. Ia ingin pergi ke rumah kerabat-kerabatnya untuk berpamitan bahwa ia akan mondok sebentar lagi. Rumahnya dengan rumah kerabatnya tidak terlalu jauh, hanya berjalan kaki pun sampai. Saat tiba di luar, ia pun melangkah menuju rumah saudaranya.

“Tumben Umi pergi keluar ga pamit sama Imam, hmm… kerumah Bunda aja ah.” Imam bermonolog.

Saat tiba didepan rumah, ia melihat sang Bunda sedang menyapu halaman rumahnya.

“Bundaa…,” panggil Imam. Bunda pun menoleh terhadapnya “Eh, ada Imam rupanya, masuk sini!” ajak sang Bunda. Imam pun datang menghampiri. Bunda merangkulnya dan membawanya kedalam rumah seraya berkata “Udah makan belum, Imam,” tanyanya.

“Udah kok Bunda.”

“Oo, kapan masuk pesantrennya?”

“Bentar lagi Bun, ini lagi tunggu Umi pulang beli perlengkapan kayaknya.”

“Gitu….”

Saat mereka tiba diruang tengah Imam melihat sekeliling rumah. “Dimana Nenek?” batinnya. “Bun, dimana Nenek?” Imam bertanya.

“Nenek udah dibawa ke rumah sakit sama Paman kamu, do’ain ya agar lekas sembuh,” ucap Bunda yang membuat Imam sedih. “Imam, yuk duduk dulu disini,” kata Bunda.

“Eung… ga dulu Bun, Imam mau pamitan aja sama Bunda.” 

“Pamitan ya, yaudah hati-hati ya dijalan,” ucap Bunda. Imam pun berpamitan dan memeluk Bunda nya itu. Setelah itu di depan rumah ia bertemu dengan Pamannya yang hendak turun dari mobil. “Pamaan…!” seru Imam. Paman pun menoleh, ia tersenyum melihat keponakannya berlari menuju ke arahnya. “Nenek baik-baik kan, Paman?” tanya Imam.

“Kondisi Nenek baik kok,” ucap Pamannya. Lantas Imam ber-oh dan berpamitan dengan Pamannya. “Mau kemana emangnya?” tanya Paman.

“Kan Imam mau mondok,” katanya seraya pergi dari rumah Bunda dan Pamannya itu.

Saat di perjalanan pulang menuju rumahnya, Imam bertemu dengan teman-temannya. Mereka seperti sedang menyembuyikan sesuatu.

“Eh, aku mau pamit dulu ya ke…,” saat mengucapkan kalimatnya, Imam terdiam kala Fathan menghampirimya lantas memegang bahu saudaranya itu. Imam merasakan air hangat jatuh di pipinya.

“Imam, mungkin ini akan terasa berat, namun sekarang saatnya kita berpisah, walaupun tubuh kita terpisah, hati kita selalu Bersama,” Fathan melambungkan tinjunya setinggi mungkin, Imam pun merasa lega atas segala keikhlasan teman-temannya itu.

Saat Imam berpamitan, Fathan memberikannya sebuah kado yang dihias sedemikian rupa. “Ini dari kami untuk mu, sahabat terbaik kami.” Setelah mengucapkan itu, mereka saling berpelukan hangat. Setelah berpamitan dengan temannya, Imam pulang ke rumahnya.

Saat tiba di depan halaman, tak sengaja ia melihat Abati sedang membereskan barangnya dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. “Abati, dimana Umi?” tanya sang buah hati. Ia sadar akan ketidakhadiran Umi nya. Saat hendak menjawab, seseorang datang dari belakang dan menutup mata Imam.

“Umii…,” lirih Imam. Imam sudah tahu betul bagaimana sifat Uminya yang lucu bahkan dia dapat mengenalnya melalui telapak tangan saja. Umi terkekeh saat melihat anaknya yang lucu dan mencubit pipi nya, Imam meringis kesakitan lalu mengelus pipi nya yang kemerahan.

“Hari ini hari…,” tanya Umi.

“Pergi mondok,” sambung Imam.

“Hari Jum’at lah sayang.” Imam sudah terbiasa dengan kelakuan jahil dari Umi, Umi lantas mencium dan memeluk sang buah hati nya.

“Nak… jangan lupa do’akan kedua orang tua yaa, jangan malas disana, awas kalau malas Umi bakal coret nama di KK, ok!” ucap Umi yang membuat Imam terkekeh.

“Imam cepat siap-siap…. eh, itu kado dari siapa?” tanya Abati yang terkejut ukuran kadonya terbilang besar. “Dari kawan-kawan, Abati.” Abati hanya manggut-manggut lalu menyuruhnya untuk bersiap. Imam berlari kecil menuju kamarnya dan menaruh kadonya di atas kasur lantas ia pun mengganti baju dengan baju yang telah di sedia kan oleh Umi. Setelah itu, ia pun membuka kado tersebut, saat ia membukanya ternyata isinya berupa baju, sarung, peci dan masih banyak lagi. Setelah mengeluarkan semua isi dari kado, ia menemukan sepucuk suran didalamnya.

“Imam, maaf jika hadiah ini tidak membuatmu tertarik, akan tetapi kami hanya ingin kamu menerima hadiah ini dari kami.” Hanya sepucuk surat itu, membuat hati imam meluluh saat membayangkan rasa rindu dari teman-temannya. Ia pun membuka bajunya dan menggantikan dengan baju pemberian sahabatnya itu. Abati datang ke kamar Imam karena menunggu terlalu lama.

“Imam, itu baju siapa? perasaan Abati dan Umi tidak pernah membelikan baju seperti itu untuk Imam.” Imam pun menoleh. Imam menunjuk ke arah jendela yang menampakkan teman-temannya sedang menunggu kepergiannya di depan gerbang. Abati hanya tersenyum lembut melihat ke arah jendela.

Saat hendak pergi melewati gerbang, Imam membuka jendela mobil lalu melambaikan tangannya kepada sahabat-sahabatnya. Di dalam perjalanan Imam tertidur pulas.

Dua jam berlalu, Imam terbangun dan melihat sekeliling. Ternyata dia hampir sampai di Dayah Ummul Ayman Samalanga. Saat tiba didalam pesantren itu, ia pun pergi bersama Abati nya untuk mencarikan kamar dan membereskan barang bawaannya ke dalam lemari. Selesai membereskan barang, Abati yang hendak pulang mengecup pelan dahi anaknya lalu bersalaman.

Imam menatap sedih mobil orang tuanya yang pergi hingga hilang dari pandangannya. Hari pertama telah dimulai, Imam langsung beradaptasi dengan lingkungan barunya.

“Allahu akbar, Allahu akbar….” azan maghrib telah dikumandangkan, imam langsung menggunakan baju kemeja putih lalu memasang surban di pecinya, dia sudah tahu dan belajar cara memasang surban di rumah, dengan bergegas dia pun menuju ke musalla untuk menunaikan rukun islam yang ke-2. Di musalla imam membaca ayat suci al-Quran dengan tenang.

Lamunanku yang mengingat masa laluku buyar. Sekarang aku dan teman-teman ku berada di musalla menunggu seseorang datang. Ya, 5 tahun telah berlalu. Kini tahun terakhir kami di pesantren. Tak terasa waktu berlalu begitu cepatnya. Seseorang pun datang, beliau adalah pimpinan dari pesantren ini. Ya, beliau adalah Waled Nuruzzahri Yahya kerap dikenal dengan sebutan Waled Nu. Beliau hadir di musalla untuk mengajarkan kami kitab kuning. Kami serempak bergegas untuk bangun dan bershalawat kepada rasul. Setelah itu kami pun duduk. Seperti biasa sebelum memulai kitab, Waled lebih dulu menanyakan kabar kami sembari berdo’a untuk memulai pelajaran yang akan datang. Aku pun tersenyum haru mengingat masa laluku penuh dengan keceriaan yang tak dapat ku rasa kan lagi. Masa depan telah menanti. Terima kasih.

Terima kasih sahabat-sahabat ku. Terima kasih karena telah berjuang bersama ditanah yang sama dibawah naungan Waled, walaupun satu persatu dari kalian telah meninggalkan aku sendiri. Terima kasih karena telah menemani ku disaat aku terpuruk dan menolongku. Terima kasih… semuanya.

Kisah Inspiratif

Berita Terkini

.