Asset 3 (3)

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM

UMMUL AYMAN

SAMALANGA-BIREUN-ACEH

Berita Terpopuler

DSC09409

Pengumuman Kelulusan Santri Baru Tahun Ajaran 2024-2025

IMG-20240201-WA0073

10 Tahun Jadi Sarjana : STIS Ummul Ayman Wisudakan 130 Mahasiswa/i

IMG-20240125-WA0044

Berkilau di Bawah Cahaya Ilmu: Yudisium angkatan ke-3 STIS Ummul Ayman Mengabadikan Prestasi 130 Lulusan.

_YUA6753

Kapolres Bireuen Sosialisasikan Bahaya Kenakalan Remaja dan Narkoba di Dayah Ummul Ayman Samalanga

DSC00579

Seminar Nasional di YPI Ummul Ayman, Angkat Tema ‘Runtuhnya Khilafah Usmani dan Munculnya Negara Bangsa,’

WhatsApp Image 2023-10-04 at 21.29.29

Amrul Yunan Usman, Santri Berprestasi, Terpilih Sebagai Finalis Duta Santri Nasional 2023

Omnipotence Paradox

Ada sebuah paradoks kuno yang sedikit menggelitik nalar kita sebagai muslim yang menganut paham monoteisme. Paradoks ini dibungkus rapi dalam sebuah pertanyaan sederhana. Bunyinya kira-kira seperti ini, “Jika Tuhan itu ada, apakah Ia sanggup menciptakan sebuah batu yang sangat besar hingga Ia sendiri tidak mampu mengangkatnya?” Cukup Menarik. Sekilas menanggapi pertanyaan ini, jika kita menjawab Tuhan sanggup menciptakan batu tersebut, secara tidak langsung kita juga memiliki persepsi bahwa ada hal yang tidak mampu Tuhan lakukan, yaitu mengangkat batu yang ia ciptakan sendiri. Karena ada hal yang tidak mampu Tuhan lakukan, lahirlah sebuah premis baru, bahwa Ia tidak benar-benar berhak menjadi Tuhan.

Dari premis di atas, sangat jelas bahwa paradoks tersebut tidak hanya menggoyah keyakinan para penganut monoteisme, tapi juga penganut Dinamisme, Animisme, Politeisme, dan Henoteisme seperti Yahudi dan Nasrani.

Karena menyinggung eksistensi Ketuhanan, paradoks ini diberi nama “Omnipotence Paradox” atau “Paradoks Ketuhanan”. Sebenarnya paradoks ini sudah berumur ratusan tahun lalu, atau ribuan tahun lalu, setidaknya ketika filosof dari Miletos Thales yang meraba-raba asal-muasal alam dan para Filosof dari Ephesos dan Elea yang menggunakan nalarnya dalam memahami dunia dan pencipta. Meski paradoks ini sudah sangat kuno, tapi entah kenapa masih saja ada orang yang merasa memiliki pemikiran kritis saat menanyakan pertanyaan seperti ini. Padahal orang-orang di masa lalu sudah lelah berulang kali menjawab pertanyaan yang sama, contohnya seperti Asy’ari ketika berdialog dengan al-Juba’i dari kalangan Mu’tazilah.

Pertanyaan seperti itu tidak jau beda dengan pertanyaan “Bisakah kita melihat suara?” Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan “bisa” atau “tidak” karena suara bukanlah ranah kinerja mata, tapi ranahnya telinga. Oleh karena itu, pertanyaan “Bisakah kita melihat suara” adalah pertanyaan yang tidak masuk akal di mana si penanya menyandarkan objek (suara) kepada bukan subjeknya (mata), karena suara bukan dilihat, tapi didengar. Melihat suara adalah hal mustahil, sedangkan mendengar suara adalah hal yang mungkin. Ini semua jelas diterangkan oleh teori Hukum Akal dalam disiplin Ilmu Teologi.

Muhammad Ibnu Mansur dalam karangan klasik “Hud Hudi” mengutip pernyataan Al-Juwaini yang berkata bahwa Hukum Akal ini adalah eksistensi akal sehat. Jadi siapa saja yang tidak tau Hukum Akal, ia tidak memiliki akal sehat.

Allah memiliki sifat wajib. Salah satunya adalah Qudrah (kekuasaan). Kuasanya Allah hanya beranah pada setiap hal yang mungkin, bukan hal wajib, apalagi mustahil. Status eksistensi batu yang tidak mampu diangkat Allah adalah hal mustahil. Maka Qudrah (kuasa) Allah tidak beranah ke situ. Sama halnya mata yang tidak beranah “mendengar” tapi hanya beranah “melihat”. Sama halnya memasukkan gajah ke dalam lubang jarum. Karena gajah itu besar dan lubang jarum itu kecil. Sesuatu yang besar mustahil bisa masuk ke dalam sesuatu yang kecil dalam teori Hukum Akal.

Semua uraian di atas adalah contoh dari tantangan zaman yang harus dijawab oleh kita muslim. Untungnya, pertanyaan Paradoks Ketuhanan di atas sudah lama dijawab oleh para cendikia muslim masa silam. Sehingga kalau pun ada orang yang bertanya kembali tentang hal itu, kita bisa dengan mudah mengcopy-paste jawaban para pendahulu. Tapi bagaimana jika pertanyaan baru muncul? Mampukah kita menjawab? Atau hanya bisa mengangguk pasrah seraya berpikir serupa dan mulai tidak yakin eksistensi Yang Kuasa?

Stephen William Hawking (1942 – 2018 M), fisikawan teoretis, kosmologi sekaligus Direktur Penelitian Centre for Theoretical Cosmology di Universitas Cambridge pernah berkata, “Aku tidak setaat orang-orang pada umumnya tapi aku percaya bahwa alam semesta diatur oleh hukum ilmu pengetahuan, bukan Tuhan. Ada perbedaan mendasar antara agama yang didasarkan pada perintah [dengan] sains yang didasarkan pada pengamatan dan nalar. Sains akan menang karena selalu terbukti. Kita bebas percaya apapun, dan saya memandang bahwa penjelasan paling sederhananya adalah Tuhan itu tidak ada. Tidak ada sosok yang menciptakan alam semesta dan tidak ada pula yang menentukan nasib kita. Pandangan ini membuat saya sadar akan hal lain. Mungkin surga itu tidak ada. Demikian halnya dengan akhirat. Kita hanya hidup sekali untuk menikmati besarnya alam semesta ini. Saya sangat bersyukur atas nikmat tersebut. Sebelum kita paham ilmu pengetahuan, wajar saja kita percaya bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Namun, sains kini memiliki penjelasan yang lebih meyakinkan. Ketika saya mengatakan ‘kita akan mengetahui isi pikiran Tuhan’, maksud saya adalah kita akan tahu semua hal yang diketahui Tuhan, itu pun seandainya ada Tuhan, dan memang tidak ada.”

Hawking adalah salah satu contoh tantangan baru bagi muslim hari ini. Persepsinya dalam memandang alam adalah sebuah konfrontasi bagi muslim untuk ditangkal. Ulama terdahulu telah selesai menyelesaikan tugas ini dengan sukses. Sekarang tugas muslim millenal yang menjawab!

Oleh Fadhil Mubarak Aisma

Kisah Inspiratif

Berita Terkini

.